Rabu, 28 Desember 2011

GEOMETRI KEHIDUPAN

            Malam yang begitu dingin, menembus sel-sel sampai ke sum-sum tulang belum menggoyahkan semangat ku, untuk membaca skripsi sebagai syarat lulus di Perguruan Tinggi Negeri di tempat aku kuliah. Egoku semakin tinggi ketika sosok makhluk Tuhan yang paling aku cintai menghampiri malam ku. Hati ku berbisik, ibu, ayah, kalian orang yang paling berharga di dalam hidupku, tanpa mu dan do’a mu, aku bukanlah siapa-siapa. Seorang sosok perempuan juga hadir dalam bayangku, dia adalah kakak ku, yang selalu memberi ku motivasi dan masukan dikala diriku lemah, lemah dikala malas belajar maupun lemah ketika mengatur pengeluaran keuangan. Ha, dahaga ku pun semakin lepas, bagaimana tidak, teman-temanku juga ikut meramaikan dinginnya malam ku kala itu, diam ku sembari tersenyum, harap ku meminta, Ya Allah lindungilah mereka semua, dan masukkanlah mereka semua ke dalam orang-orang yang beriman.
Next Day…
            Wil.. Wildan, nama yang tidak asing itu terdengar jelas di telingaku. Bagaimana tidak itu adalah nama ku sendiri. Sosok wajah yang hitam manis, tergambar jelas bahwa ada kebahagian dalam dirinya. Dia adalah Ari Amrizal teman baikku. Wildan, bagaimana skripsimu?, sapanya dengan tenang. Apakah sudah di ACC oleh pembimbingmu?, Aku jawab, Alhamdulillah sudah, tinggal ujiannya saja yang belum Insyaallah dua hari lagi. Bagaimana denganmu Ri?, pertanyaan ku membuat Ari terkejut, wajah riang yang terlihat dirona wajahnya lenyap seketika, namun suasana yang sempat hening itu cair ketika Ari menjawabnya. Saya masih seperti ini Wil, masih tersisa beberapa mata kuliah yang harus ku ulang. Ari lanjut bicara, Wildan semoga kamu lulus nanti diujian akhir. Mendengar Ari mengatakan itu, Roma ku berdiri seketika, air mataku ingin jatuh namun ku coba menahannya. Aku pun mencoba memberinya semangat. Ari, terimakasih atas motivasimu, aku juga mendo’akan mu semoga dalam waktu dekat ini kamu juga bisa lulus. Amin, suara itu serentak terucap. Tak lama Ari pun meninggalkan ku sendiri.
            Di sudut Fakultas berarsitek Turki itu, Ku buka skripsi yang sudah berkali-kali direvisi. Waktu yang hanya tersisa dua hari itu tidak akan ku lewatkan tanpa skripsiku. Tak lama kemudian terdengar suara Adzan Dzuhur, Allahuakbar Allahuakbar… Asma-asma keagungan Illahi memanjakan setiap insan-insan yang beriman. Kubergegas menuju suara itu, untuk bertemu sang Khaliq yang menciptakan malam dan siang secara bergantian.
            Setelah shalat, terdengar suara yang sedikit memaksa dari perutku. Aku pun menyadari, waktunya makan siang. Kulihat uang yang tersisa di saku celana kiri ku, Alhamdulillah masih tersisa lima ribu rupiah. Ku pikir sejenak, walau tidak dapat membeli nasi putih dan lauk satu piring, nasi goring pun sudah dapat mengganjal rasa laparku.
Senja itu..
            Matahari mulai terbenam di ufuk barat, burung-burung berterbangan mencari sarangnya sambil membawa makanan untuk anaknya, langit pun mulai menguning, Adzan Maghrib kembali di kumandangkan. Setelah selesai Shalat Maghrib, kusempatkan bertemu si Furqon, yakni Al-Qur’an. Ayat-ayat yang begitu indah, itu membuat diri ku tenang bersamanya.
            Jam dinding berdetak satu kali, menandakan malam telah berganti. Lebih dari tiga jam bersama skripsi yang lumayan tebal itu membuat ku sedikit letih. Aku kembali teringat masa lalu. Masa yang sudah lama aku lalui, ketika aku sekolah dan tinggal bersama orangtua dulu.
            Diwaktu kecil aku ingat orangtua ku begitu susah mencari rezeki untuk anaknya. Agar anaknya kelak lebih baik darinya. Terlebih ibuku, kulihat dari kejauhan ibuku membawa sepeda tuanya di atasnya ada beras sisa jualannya yang belum laku terjual.  Ditengah teriknya sinar matahari, ada secerca harapan yang tersimpan.
            Tiga tahun setelah itu, ayahku yang tadinya seorang penyadap karet, berubah profesi menjadi tukangbecak. Terkadang aku merasa kasihan melihatnya, Uang seribu itu dikumpulkannya dengan rapi, walau hanya sedikit, senyumnya terlihat manis. Di tempat kami tinggal, tukangbecak sangat direndahkan pekerjaannya. Citra tukangbecak dimasyarakat sangat jelek dan dipandang buruk, padahal itu adalah pekerjaan yang halal dimata Allah, dan jauh lebih mulia ketimbang para pejabat yang melakukan korupsi dan menyengsarkan banyak orang.
            Setelah umurku 18 tahun, dengan nilai yang tidak terlalu tinggi aku pun masuk ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Riau. Ya sebuah Universitas bercorakkan islami.
            Awalnya sangat asing bagiku di dunia baruku. Karena peraturan dan atmosfir yang berbeda diwaktu sekolah. Jika sekolah aku terbiasa berjumpa sin, cos, tan dan x kuadrat, maka pada waktu kuliah saya lebih sering berdiskusi tentang masyarakat baik ditinjau dari segi agama, budaya, filsafat, psikologi, politik dan sebagainya. Ya, setidaknya dalam empat tahun akan lebih menikmatinya, karena itu adalah duniaku.
            Semester pertama dan kedua aku beljar sangat serius, terlebih ada yang membuatku termotivasi. Ya, kehadiran seorang perempuan yang misteriu seolah menjadi makhnet bagiku untuk selalu datang ke kampus. Ya Allah, dalam hatiku bertanya, kenapa aku seperti ini?, salahkah aku jika selalu ingat padanya?. Di meja kecil itu ku coret sehelai kertas dengan pena bewarna pink.
Ku tulis sebuah puisi tentang rasa kagum ku pada seorang wanita
Dari rona wajahnya terlukis keindahan akhlaknya
Ya Allah, apakah ini yang dinamakan wanita shaleha?

Ada berjuta anak sungai di wajahku
Namun satu diantaranya tidak dapat dilihatnya
Pernah terlintas dikalbuku sesuatu
Namun pikirku itu hanya harapan semu
                                                                                ( Harapan Semu, By:  Pebri Husen Nasution)
            Setelah perkuliahan ku berjalan satu tahun, terlihat IPK ku 3,69, sebuah prestasi yang lumayan baik ditambah nilai A yang tersenyum padaku.
            Memasuki semester tiga, aku lebih banyak berfantasi bersama teman-teman. Ketika pulang kuliah, dari belakang ada suara menyapa ku, Wildan tunggu, aku menorah kebelakang ternyata ada tiga orang teman ku, mereka adalah henri, arifin dan arsep teman satu lokal. Dengan ekspresi tak berdosa henri bicara, Wildan ayo kita bermain domino ajaknya dengan tenang, belum sempat ku menjawab, arsep dan arifin tak mau kalah, Ayolah Wil, tugas kitakan tinggal sedikit, dimana waktu bersama teman?. Ajakan mereka akhirnya tidak dapat ku tolak.
            Waktu mengalir denga cepatnya, walaupun bermain bersama mereka tidak mengelurakan uang atau taruhan, tapi lebih banyak menyita waktu belajar dan istirahatku. Dengan santainya aku menikmati bermain bersama teman-teman. Balak demi balak ku masukkan dengan pelan. Dalam waktu singkat aku telah merasa hebat bermain domino. Mungkin jika hanya sekedar bermain bersama orang tua-tua di kedai kopi, aku bisa mengimbangi permainan mereka.
            Setelah semester tiga berakhir, aku lihat nilai ku dan ku bandingkan dengan nilai sebelumnya. Ya Allah aku mendapatkan nilai 3, 18. Sangat signifikan turun. Aku baru menyadari bahwa waktu ku telah banyak ku sia-siakan. Sejak saat itu sampai sekarang aku mulai meninggalkan kehidupan yang tidak bermanfaat untuk ku dan aku berjanji pada diriku bahwa aku harus menjadi sarjana yang berguna.
            Kring..kring…kring, hp ku berbunyi, aku lihat, ternyata telfon dari kakak ku, ternyata niatku yang tadinya sudah bulat, ditambah oleh nasihat-nasihat dari kakak ku, agar aku tidak main-main untuk kuliah. Wildan, ingat jangan pacaran, jangan merokok, dan lihat orangtua kita yang sudah berjuang untuk kita. Itu adalah pesan kakak ku untuk ku, yang akan selalu ku ingat sepanjang masa.
            Ku lihat jam dinding, sudah lewat jam.2 dini hari. Jika ku ingat masa lalu waktu semalam sangatlah singkat. Hari ini adalah hari terakhirku menjelang ujian skripsi, besok aku akan melewati hari yang paling bersejarah. Niat awalku sudah bulat, aku tidak boleh kalah, Allah ada bersama ku, orangtuaku, teman-teman juga ada dibelakang ku. Setelah sholat tahajjud dan berdo’a. Aku berkata, bersama Dosen yang killer di ruang pembantaian mahasiswa itu, aku akan unjuk gigi.


Minggu, 25 Desember 2011

Latar Belakang Juventus (salah Satu Klub Terbesar di Italia)

Tim sepakbola terbesar Italia telah lahir, jika hampir secara kebetulan. Presiden pertama klub adalah Enrico Canfari, pitch pertama Piazza d'Armi (Ground Parade) dan sisi kehidupan mulai dengan mengenakan pink. Olahraga jersey yang sama, klub memulai debutnya di Kejuaraan Nasional di 1900. Tiga tahun kemudian, warna Bianconero berada di tempat, yang berasal dari Nottingham. Lima tahun kemudian, gelar Italia pertama tiba, setelah kocok lepas persaingan yang ketat dari Genoa dan Milan. Presiden Alfredo Dick dari Swiss, meninggalkan klub lama kemudian berikut perpecahan di kamar ganti dan berbagai keluhan. Dia kemudian melanjutkan untuk membangun Torino dan merekrut pemain asing terbaik. Juventus menderita beberapa masa sulit di tahun-tahun berikutnya, karena tidak mampu bersaing dengan kekuatan-kekuatan baru sepakbola saat, Pro Vercelli dan Casale.

Bianconeri membuat kembali kemenangan setelah Perang Dunia Pertama: Giacone kiper dan bek Novo dan Bruna adalah pemain Juventus pertama mengenakan jersey Tim Nasional. Presiden adalah penyair dan manusia kata-kata Corradino Corradini, yang juga menulis lagu kebangsaan Juventus digunakan sampai 60-an. 1923 adalah tahun khusus: Giampiero Combi membuat debut pertama tim, membuktikan menjadi salah satu kiper terbesar sepanjang masa dan memberikan kontribusi untuk mengubah berdiri klub. Pada 24 Juli, pertemuan pemegang saham Edoardo Agnelli melihat Bapak, putra pendiri FIAT, terpilih sebagai presiden baru. Klub juga memiliki permukaan bermain sendiri, di Corso Marsiglia. Teras hanya batu bata dan jumlah pendukung bertambah setiap hari. Juventus memiliki semua yayasan untuk kemajuan melalui jajaran sepakbola Italia dan untuk memperkuat sisi sudah membual orang seperti Combi, Rosetta, Munerati, Bigatto dan Grabbi, bersama dengan manajer resmi pertama, Hungaria Jeno Karoly, dan asing pertama dunia pemukul, juga dari Hungaria, pemain sayap kiri Hirzer.

Dalam 1925/26 Juventus memenangkan Scudetto kedua mereka, setelah akhir mencengkeram dengan Bologna, hanya kalah dalam play-off dan grand final melawan Roma Alba. Tapi ini hanya hanya awal: 1930-1935, Juve jalan keluar di depan dan lima scudetto berturut-turut datang ke Torino. Komponen utama dari "periode lima tahun Emas" adalah manajer Carlo Carcano dan juara seperti Orsi, Caligaris, Monti, Cesarini, Varglien I dan II, Bertolini, Ferrari dan Borel II. Juve juga memberikan kontribusi penting kepada Tim Nasional, yang memenangi Piala Dunia di Roma pada tahun 1934. Tahun 1930-an melihat Bianconeri memiliki pengalaman pertama mereka dalam kompetisi kontinental, mengambil bagian dalam Piala Eropa, pendahulu terkenal dari Liga Champions saat ini. Keberuntungan tidak di pihak Juve, tapi mereka membuat empat penampilan semifinal.

uventus kembali kesuksesan mereka setelah Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1947, Giovanni Agnelli, putra Edoardo, yang gugur secara tragis dalam kecelakaan pesawat pada tahun 1935, menjadi presiden. Juara klub yang paling digembar-gemborkan sekarang Carlo Parola, Denmark John Hansen dan Praest, dan yang paling dari semua, Giampiero Boniperti. Disoraki oleh ribuan penggemar, mereka menang Scudetto dicapai pada tahun 1950 dan 1952.

Pada tahun 1953, Giovanni Agnelli meninggalkan perannya sebagai presiden, yang ditanggungkan saudaranya Umberto dua tahun kemudian. Sebuah siklus kemenangan baru mulai: diprakarsai oleh kedatangan Omar Sivori dan John Charles, Bianconeri menaklukkan Scudetto pada tahun 1958, membiarkan diri mereka untuk memakai bintang di baju mereka telah mencapai sepuluh gelar nasional. Pada tahun 60an, ada tiga keberhasilan, dengan yang terakhir datang pada tahun 1967 di bawah presiden Vittore Catella, tapi sejarah Juve mulai menjadi lebih mulia pada awal dekade baru. Giampiero Boniperti menggantungkan sepatu, tetapi ia terus memimpin tim, pada 13 Juli 1971, ia menjadi Presiden baru dan tidak ada menghentikan Bianconeri