Tiga Anak Kucing
Ku yang Malang
(sebuah narasi nonfiksi)
By: Pebri Husen
Nasution
Pekanbaru, Satu bulan yang
lalu ketika liburan semester baru dimulai, ku rapikan semua pakaian untuk
dibawa pulang ke kampung tercinta.
Pasirpengaraian, Sampai di sana aku melihat seekor
induk kucing yang hamil tua. Sepertinya kucing itu baru di sini, karna terakhir
di sini aku belum melihatnya.
Beberapa hari kemudian setelah
melahirkan anaknya yang berjumlah tiga ekor[1]
(menurut prediksi saya 2 ekor jantan, 1 ekor betina) masalah terbesar adalah
tempat untuknya. Awalnya dia melahirkan di dalam lemari di atas tumpukan kain.
Untungnya kain bekas dia melahirkan tidak dipakai lagi sehingga kemarahan
untuknya dapat diminimalisir. Aku pun mencari kardus karton yang diisi koran dan
dilapisi bekas kain yang sudah tidak lama dipakai. Awalnya saya taruk tempatnya
di teras rumah di dalam peti besar tempat penyimpanan kelapa.
Setelah beberapa hari sebelum
anaknya dapat membuka matanya, ada seekor kucing jantan bewarna kuning putih
menggigit anaknya Si Putih yang baru lahir itu. Tubuhnya yang mungil
dirobek-robek hingga ususnya keluar dan darahnya berceceran ditambah kepalanya
yang hampir putus. Tidak dimakannya kucing jantan itu pun pergi entah kemana.
Tak lama kemudian induknya melihat
anaknya. Suatu tragedi memilukan terjadi: Kucing lain yang kebetulan ada disitu
semuanya dilawannya, seolah-olah itulah pembunuh anaknya. Yah.. saya tidak tau
apa yang dikatakannya kepada kucing lain itu, tapi dia begitu sangat marah.
Setelah kejadian itu aku pun
memindahkan anaknya di dalam gudang di samping rumah. Selama tingggal di gudang
itu perjuangan untuk bertemu anaknya semakin berat, karena pintu gudang yang
sering dikunci. Dia memanjat ke atas atap untuk keluar dan mencari makan dan
masuk untuk menyusui dua ekor anaknya yang tersisa.
Induk kucing ini tidak begitu baik, dia
sering memanjat meja makan dan mencoba membuka tudung tempat penyimpanan lauk.
Sikap tidak sopannya itu membuat ku kadang marah, ya walaupun aku tau dia
seekor kucing yang tidak mempunyai akal fikiran. Tidak sampai disitu, Induk
kucing itu sering mencoba memindahkan anaknya ke dalam rumah. Dia mencari
tempat terlarang yaitu di atas keranjang kain yang bersih.
Empat minggu kemudian, aku pun
kembali ke pekanbaru untuk menyelesaikan urusan perkuliahan yaitu registrasi di
fakultas. Hanya empat hari di sana
aku pun kembali ke kampung halaman karna perkuliahan belum dimulai hingga satu
minggu kedepan.
Sesampai di kampung tepatnya malam
hari, aku melihat anak kucing tinggal satu ekor, tampak di wajahnya ada bekas
cakaran. Ku Tanya kepada adikku dimana satu ekor lagi, sambil mengelus-elus Si
Kuning Belang dia menjawab: anak kucing bewarna hitam itu sudah mati kemarin.
Dia dibunuh dengan kucing jantan yang sama. Kematiannya sama tragisnya dengan
Si Putih. Di sayatan luka perutnya tampak daging yang hampir keluar. Yang
sangat memilukan adalah rasa sakit yang dirasakannya sangat lama sebelum
menghembuskan nafas terakhir. Si kuning yang masih hidup itu dibawa untuk
melihat adiknya yang mati. Bulu-bulu ditubuhnya semuanya berdiri dan dia
mengeong begitu keras, seolah-olah dia begitu trauma.
Keesokan paginya aku melihat anak
kucing itu, tempatnya sekarang adalah di dalam kamar orangtua ku. Aku lihat di sana ternyata anaknya
tidak ada. Ternyata induknya telah memindahkan anaknya di kursi ruang tamu.
Ternyata mereka asyik bergelut berdua.
Siang itu ketika bermain game di
laptop terdengar suara jeritan anak kucing yang begitu keras, suara yang
terkesan kesakitan. Spontan aku keluar melihat keluar. Di luar aku melihat ada
tetangga, dan aku bertanya, apa yang terjadi kak?, dengan tenang kakak
tetanggaku menjawab: oh, ada induk kucing membawa anaknya. Aku pun
menjawab, bukan itu induknya kak! Sambil menunjuk ke arah lain aku
melanjutkannya, tapi disana… Kebetulan induk kucing itu ada di teras
rumah. Sedikit panik kakak itu menunjukkan arah perginya kucing jantan yang
sedang membawa anak kucing yang malang
itu, dan dia ikut mengejarnya. Dari jauh dia melihatnya dan melemparnya. Si
kuning belang pun jatuh dari gigitan kucing jantan itu, dan pergi entah kemana.
Aku lihat Kakak itu tak kuat melihat anak kucing, dari kejauhan tampak rona
berkerut seolah rasa pesimisnya mengisyaratkan anak kucing itu akan mati. Aku
pun mendekatinya dan mengambilnya untuk ku bawa ke rumah. Aku lihat kondisinya,
Ya Allah… Di lehernya ada lobang yang
begitu dalam bekas gigitan kucing jantan. Aku mengambil obat merah di dalam
rumah dan mengoleskan ke lehernya. Ku lihat wajah anak kucing itu, dia begitu
sangat kesakitan dengan kumis dan mulut yang bergerak-gerak.
Aku
melihat induk kucing itu ada di teras rumah, aku ambil dia dan ku dekatkan
dengan anaknya. Induk kucing itu pun mengeong kepada anaknya. Aku lihat
anaknya, tampak dari mulutnya dia menjawab meongan ibunya, karena kondisi yang
begitu lemah hampir tak terdengar suaranya. (Seolah-olah ibunya mengatakan: Wahai
anak ku, mengapa engkau begini?, si
Kuning Belang menjawab: Ibu, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku…)
Induk kucing kucing itu pun menjilat-jilat anaknya, mungkin itu hari terakhir
memandikan anaknya.
Tidak
berapa lama kemudian, akhirnya anak kucing itu mati. (sebenarnya aku tidak
mengetahui apakah dia benar-benar mati, tapi aku rasakan nafas di perutnya
sudah tidak ada, dan lidahnya sudah keluar) Aku pun memutuskan untuk
menguburkannya di samping kuburan Si Hitam.
Mak
Uwo yang ada di depan rumah ku bertanya, untuk apa tanah itu di gali?, Aku
menjawab: Untuk menguburkan anak kucing. Mak Uwo heran karena beberapa hari
yang lalu anak kucing baru dikuburkan. Ya, itu adalah Si Hitam yang hanya
berjarak beberapa hari dari sikuning belang.
Tiga
hari setelah kematian anak terakhirnya kucing itu sering terlihat
mengeong-ngeong seperti mencari anak-anaknya, aku tidak tau apakah dia sudah
tau anaknya sudah mati, karena kematian anaknya semuanya diketahuinya. Mungkin
juga dia merindukan anaknya dan belum terbiasa dengan sendiri.
Malam
hari berikutnya aku pun memindahkan induk kucing itu jauh dari tempat tinggal
ku, karena kebiasan buruknya yang belum berubah yaitu mencoba membuka sungkut
nasi (tempat penyimpanan nasi dan lauk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar