Rabu, 07 Maret 2012

Tiga Anak Kucing Ku yang Malang (sebuah narasi nonfiksi)

Tiga Anak Kucing Ku yang Malang (sebuah narasi nonfiksi)
By: Pebri Husen Nasution

            Pekanbaru, Satu bulan yang lalu ketika liburan semester baru dimulai, ku rapikan semua pakaian untuk dibawa pulang ke kampung tercinta.
            Pasirpengaraian, Sampai di sana aku melihat seekor induk kucing yang hamil tua. Sepertinya kucing itu baru di sini, karna terakhir di sini aku belum melihatnya.
            Beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang berjumlah tiga ekor[1] (menurut prediksi saya 2 ekor jantan, 1 ekor betina) masalah terbesar adalah tempat untuknya. Awalnya dia melahirkan di dalam lemari di atas tumpukan kain. Untungnya kain bekas dia melahirkan tidak dipakai lagi sehingga kemarahan untuknya dapat diminimalisir. Aku pun mencari kardus karton yang diisi koran dan dilapisi bekas kain yang sudah tidak lama dipakai. Awalnya saya taruk tempatnya di teras rumah di dalam peti besar tempat penyimpanan kelapa.
            Setelah beberapa hari sebelum anaknya dapat membuka matanya, ada seekor kucing jantan bewarna kuning putih menggigit anaknya Si Putih yang baru lahir itu. Tubuhnya yang mungil dirobek-robek hingga ususnya keluar dan darahnya berceceran ditambah kepalanya yang hampir putus. Tidak dimakannya kucing jantan itu pun pergi entah kemana.
            Tak lama kemudian induknya melihat anaknya. Suatu tragedi memilukan terjadi: Kucing lain yang kebetulan ada disitu semuanya dilawannya, seolah-olah itulah pembunuh anaknya. Yah.. saya tidak tau apa yang dikatakannya kepada kucing lain itu, tapi dia begitu sangat marah.
            Setelah kejadian itu aku pun memindahkan anaknya di dalam gudang di samping rumah. Selama tingggal di gudang itu perjuangan untuk bertemu anaknya semakin berat, karena pintu gudang yang sering dikunci. Dia memanjat ke atas atap untuk keluar dan mencari makan dan masuk untuk menyusui dua ekor anaknya yang tersisa.
            Induk kucing ini tidak begitu baik, dia sering memanjat meja makan dan mencoba membuka tudung tempat penyimpanan lauk. Sikap tidak sopannya itu membuat ku kadang marah, ya walaupun aku tau dia seekor kucing yang tidak mempunyai akal fikiran. Tidak sampai disitu, Induk kucing itu sering mencoba memindahkan anaknya ke dalam rumah. Dia mencari tempat terlarang yaitu di atas keranjang kain yang bersih.         
            Empat minggu kemudian, aku pun kembali ke pekanbaru untuk menyelesaikan urusan perkuliahan yaitu registrasi di fakultas. Hanya empat hari di sana aku pun kembali ke kampung halaman karna perkuliahan belum dimulai hingga satu minggu kedepan.
            Sesampai di kampung tepatnya malam hari, aku melihat anak kucing tinggal satu ekor, tampak di wajahnya ada bekas cakaran. Ku Tanya kepada adikku dimana satu ekor lagi, sambil mengelus-elus Si Kuning Belang dia menjawab: anak kucing bewarna hitam itu sudah mati kemarin. Dia dibunuh dengan kucing jantan yang sama. Kematiannya sama tragisnya dengan Si Putih. Di sayatan luka perutnya tampak daging yang hampir keluar. Yang sangat memilukan adalah rasa sakit yang dirasakannya sangat lama sebelum menghembuskan nafas terakhir. Si kuning yang masih hidup itu dibawa untuk melihat adiknya yang mati. Bulu-bulu ditubuhnya semuanya berdiri dan dia mengeong begitu keras, seolah-olah dia begitu trauma.
            Keesokan paginya aku melihat anak kucing itu, tempatnya sekarang adalah di dalam kamar orangtua ku. Aku lihat di sana ternyata anaknya tidak ada. Ternyata induknya telah memindahkan anaknya di kursi ruang tamu. Ternyata mereka asyik bergelut berdua.
            Siang itu ketika bermain game di laptop terdengar suara jeritan anak kucing yang begitu keras, suara yang terkesan kesakitan. Spontan aku keluar melihat keluar. Di luar aku melihat ada tetangga, dan aku bertanya, apa yang terjadi kak?, dengan tenang kakak tetanggaku menjawab: oh, ada induk kucing membawa anaknya. Aku pun menjawab, bukan itu induknya kak! Sambil menunjuk ke arah lain aku melanjutkannya, tapi disana… Kebetulan induk kucing itu ada di teras rumah. Sedikit panik kakak itu menunjukkan arah perginya kucing jantan yang sedang membawa anak kucing yang malang itu, dan dia ikut mengejarnya. Dari jauh dia melihatnya dan melemparnya. Si kuning belang pun jatuh dari gigitan kucing jantan itu, dan pergi entah kemana. Aku lihat Kakak itu tak kuat melihat anak kucing, dari kejauhan tampak rona berkerut seolah rasa pesimisnya mengisyaratkan anak kucing itu akan mati. Aku pun mendekatinya dan mengambilnya untuk ku bawa ke rumah. Aku lihat kondisinya, Ya Allah… Di  lehernya ada lobang yang begitu dalam bekas gigitan kucing jantan. Aku mengambil obat merah di dalam rumah dan mengoleskan ke lehernya. Ku lihat wajah anak kucing itu, dia begitu sangat kesakitan dengan kumis dan mulut yang bergerak-gerak.
Aku melihat induk kucing itu ada di teras rumah, aku ambil dia dan ku dekatkan dengan anaknya. Induk kucing itu pun mengeong kepada anaknya. Aku lihat anaknya, tampak dari mulutnya dia menjawab meongan ibunya, karena kondisi yang begitu lemah hampir tak terdengar suaranya. (Seolah-olah ibunya mengatakan: Wahai anak ku, mengapa engkau  begini?, si Kuning Belang menjawab: Ibu, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku…) Induk kucing kucing itu pun menjilat-jilat anaknya, mungkin itu hari terakhir memandikan anaknya.
Tidak berapa lama kemudian, akhirnya anak kucing itu mati. (sebenarnya aku tidak mengetahui apakah dia benar-benar mati, tapi aku rasakan nafas di perutnya sudah tidak ada, dan lidahnya sudah keluar) Aku pun memutuskan untuk menguburkannya di samping kuburan Si Hitam.
Mak Uwo yang ada di depan rumah ku bertanya, untuk apa tanah itu di gali?, Aku menjawab: Untuk menguburkan anak kucing. Mak Uwo heran karena beberapa hari yang lalu anak kucing baru dikuburkan. Ya, itu adalah Si Hitam yang hanya berjarak beberapa hari dari sikuning belang.
Tiga hari setelah kematian anak terakhirnya kucing itu sering terlihat mengeong-ngeong seperti mencari anak-anaknya, aku tidak tau apakah dia sudah tau anaknya sudah mati, karena kematian anaknya semuanya diketahuinya. Mungkin juga dia merindukan anaknya dan belum terbiasa dengan sendiri.
Malam hari berikutnya aku pun memindahkan induk kucing itu jauh dari tempat tinggal ku, karena kebiasan buruknya yang belum berubah yaitu mencoba membuka sungkut nasi (tempat penyimpanan nasi dan lauk).


             









[1] Anak Kucing Pertama Si Kuning Belang, Kucing kedua: Si Hitam, dan terakhir  Si Putih.

Tidak ada komentar: