Jumat, 06 Januari 2012

Hukum Adat

BAB I
Pendahuluan


1.1 Latar Belakang
          Apabila hendak membicarakan gejala hukum dengan segala aspeknya, maka mau tak mau harus juga disinggung perihal masyarakat yang menjadi wadah hukum tersebut. Hukum dalah masyarakat juga, yang ditelaah ari sudut tertentu, sebagaimana halnya juga politik, ekonomi dan sebagainya. Tradisi tersebut bertitik tolak pada pendirian, bahwa hukum merupakan suatu gejala yang berdiri dalam masyarakat. Hal ini bukan berarti, bahwa hukum secara tegas terpisah dari masyarakat.
            Dapat juga diartikan bahwa masyarakat merupakan suatu system, yakni system sosial. Suatu system merupakan suatu keseluruhan terangkai yang mencakup unsure-unsur, bagian-bagian, konsitensinya, kelengkapan dan konsepsi atau pengertian dasar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa contoh-contoh dari system sosial adalah, misalnya kelompok-kelompok kecil, partai-partai politik ataupun masyarakat.
            Subsistem budaya merupakan susunan dari unsure-unsur yang berisikan dasar-dasar hirarki dari masyarakat, yaitu nilai-nilai. Yang penting adalah bahwa pengertian system sosial sangat penting sebagai titik tolak untuk membahas hukum adat Indonesia.

1.2 Tujuan
            Tujuan pada pembahasan makalah ini adalah supaya pembaca dan penulis lebih mengetahui sistemh hukum adat diIndonesia dibalik pluralistiknya/majemuk budaya masyarakat Indonesia.

1.3 Batasan Masalah
            Agar pembahasan lebih menarik, disini kami menarik semua pembahasan tentang system adat yang hanya ada di “Indonesia”.


BAB II
Pembahasan

2.1  Definisi Hukum Adat
Definisi dari Hukum Adat menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
Kepribadian bangsa kita dapat dilihat dari keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada Lambang negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua).
Dengan mempelajari hukum adat di Indonesia maka kita akan mendapatkan wawasan berbagai macam budaya hukum Indonesia, dan sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional.
Berkat hasil penelitian Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian bangsa Indonesia semenjak tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang – undang dasarnya dapat mewujudkan tata hukum Indonesia.
Sifat dari hukum adat memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago karangan James Richardson Tahun 1850.

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
  1. Hukum Adat mengenai tata negara
  2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
  3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.


2.2 Masyarakat Majemuk

            Istilah masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau  pluralistik. Menurut filsafat, maka pluralism dipertentangkan dengan dualism. Pluralism merupakan suatu nilai, bahwa dunia terdiri dari bermacam benda, hal atau keadaan. (Encyclopedia Americana Volume 22.971:258)
            Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa istilah pluralism dapat dipergunakan di dalam bermacam-macam kerangka pemikiran. Semula istilah tersebut dipergunakan dalam arti yang dipertentangkan dengan teori-teori tradisonal mengenai kedaulatan negara.
            Apabila ditinjau dari sudut sejarah ilmu-ilmu social, maka istilah pluralisme dapat dipergunakan dalam arti tertentu pula. Mula-mula istilah tersebut dipergunakan untuk melukiskan system politik tertentu yang diperlukan oleh suatu Negara yang kompleks yang sedang menerapkan demokrasi. Menurut pendukung pendapat tersebut, maka adanya demokrasai ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan untuk mengambil keputusan secara efektif.

a. Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
  1. Aceh
  2. Gayo dan Batak
  3. Nias dan sekitarnya
  4. Minangkabau
  5. Mentawai
  6. Sumatra Selatan
  7. Enggano
  8. Melayu
  9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)

            Di alam tulisan yang berjudul “Daftar Sementara Suku Bangsa Suku Bangsa dii Indonesia Berdasarkan Klasifikasi Letak Pulau atau Kepulauan” yang diterbitkan dalam Majalah Sosiografi Indonesia nomor. 1, tahun 1959, dengan mengambil patokan criteria bahasa, daerah kebudayaan serta susunan masyarakat. Jumlah suku bangsa yang ada, sebagai berikut:
1. Sumatra       : 49
2. Jawa                        : 7
3. Kalimantan  : 73
4. Sulawesi      :117
5.Nusa Tenggara         : 30
6.Maluku-Ambon        : 41
7. Irian Jaya     : 49
            Kalau Masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia yang hidup bersama cukup lama sehingga dapat menciptakan satu kebudayaan, maka Indonesia sekarang ada banyak masyarakat tersendiri. Dalam usaha membentuk single society atau masyarakat Indonesia dan plural society yang ada sekarang, kita harus mampu membedakan antara 3 macam kebudayaan: (Selo Soemardjan 1976:3-8)
  1. Super-Culture, yaitu kebudayaan satu buat seluruh masyarakat Indonesia.
  2. Culture, yaitu kebudayaan yang sejak dahulu dimiliki oleh tiap-tiap suku bangsa.
  3. Sub-Culture, yaitu variasi dari culture yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok atau golongan dalam  suatu bangsa.
Nyatalah, bahwa Selo Soemardjan menekan pada factor perbedaan culture dari setiap suku bangsa, yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk.
b. Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
-          Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

2.3 Sistem-sistem Kekerabatan

            Semenjak dahulu kala, sitem-sitem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu-ilmu social maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan, oleh karena manusia ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu system social yang menyeluruh.
            Pada kebanyakan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui ayah, biasanya disebut patrilateral, sedangkan yang melalui ibu, lazimnya dinamakan matrilateral.
            Prinsip keturunan memberikan batas-batas pada hubungan-hubungan kekerabatan, oleh karena prinsip tersebut menentukan siapakah yang masuk batasan hubungan kekerabatan dn siapa secara biologis berada diluar batasan tersebut. Lazimnya dibedakan anatara empat macam prinsip garis keturunan. (Koentjarangningrat 1967: 124, 125; bandingkan dengan Hazairin 1960: 5 yang membedakan hanya 3 macam prinsip garis keturunan utama yang disebut system kekerabatan manusia):
a. Prinsip garis keturunan patrilineal atau patrilineal descent yang secara sederhana dapat digambarkan, sebagai berikut:

            Koentjaraningrat menjelaskan, bahwa prinsip garis keturunan patrilineal adalah Yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap induvidu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya diluar batas itu. Secara terperinci dengan menyebutkan masyarakat Batak sebagai contoh. (Koentjaraningrat 1967: 124)

b. Prinsip garis keturunan matrilineal atau matrilineal descent, yakni (Ch. Winick 1975: 378)
Referring to the transmission authority, inheritance, or descent primarily through females
Menurut Kontjaraningrat, maka prinsip garis keturuan merupakan suatu prinsip yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang-orang wanita saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap induvidu dalam masyarakat semua kerabat ibunya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya   sedang semua kaum kerabat ayahnya jatuh diluar batas itu.  (Koentjaraningrat 1967: 125)
Hazairin mengemukakan contoh masyarakat Minangkabau, untuk menjelaskan prinsip garis keturunan matrilineal.

c. Prinsip garis keturunan bilateral atau parental (bilateral descent)
            Murdock kadang-kadang mempergunakan istilah cognitic descent untuk bilateral tersebut. Mengenai hal ini, dengan menyebutkan Masyarakat Jawa sebagai contoh.
            “Orang Jawa mempunyai masyarakat yang system kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaiu setiap orang berhak menarik garis keturunannya ke atas baik pun melalui ayahnya ataupun malalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya ataupun melalui ibunya, demikian pula yang dilakukan oleh ayahnya ataupun melalui ibunya itu dan seterusnya begitu selanjutnya. (Hazairin 1960:5, 6)
            Hazairin telah meberikan suatu uraian yang agak terperinci mengenai prinsip garis keturunan bilateral. Namun demikian, perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:
Khusus mengenai daerah Solo, maka Marbangun Hardjowirogo memberi catatan-catatan, sebagai berikut:
“ Berdasarkan keturunan, Masyarakat Solo terbagi atas Ndoro, bangsawan, wong cilik, orang biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagaar. Status ndoro dan Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui seorang pria atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang Susuhunan atau seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal keondoroannya.

d. Prinsip garis keturunan bilineal atau bilineal descent
            Menurut Koentjaraningrat, maka prinsip garis keturunan bilineal adalah yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang-orang laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain, dank arena itu mengakibatkan bagi tiap-tiap induvidu dalam masyarakat kadang-kadang semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kekerabatan, sedangkan kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu, dan kadang-kadang sebaliknya. (Koentjaraningrat 1967: 125)
            Menurut Ter Haar Bzn, maka beberapa daerah misalnya di Aceh dan savu, terdapat masyarakat-masyarakat dengan gejala bilinear. Artinya pada masyarakat-masyarakat tersebut terdapat suatu tradisi, dimana benda-benda tertentu diwariskan oleh ayah kepada anak laki-laki saja, dan demikian pula lagi bagi benda-benda tertentu dari seorang ibu hanya diwariskan kepada anak perempuannya. (Ter Haar Bzn 1950: 149)
            Sistem-sistem kekerabatan pada umumnya dan prinsip-prinsip garis keturunan khusus, merupakan masalah-masalah yang perlu ditelaah terlebih dahulu sebelum mempelajari dan membahas hukum adat.




2.4 Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :

  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
a. Manfaat Hukum Adat
1. Hukum Adat dan Hukum Indonesia
Masyarakat Indonesia memiliki kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan yakni membangun dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Kedinamikaan suku merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah hukum adat yang ditransformkan menjadi hukum nasioanal dan dicantumkan dalam UUD 1945.
Mempelajari hukum adat maka kita akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk menurut kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan dengan hukum nasional.
Hukum di Indonesia salah satunya bersumber dari costum, dimana sumber tersebut mengikuti perkembangan zaman dan harus disesuaikan dengan azas – azas hukum yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa. Suatu peraturan yang telah diundangkan harus disepakati dan dipatuhi bersama dengan tidak ada pengecualian.
2 .  Masyarakat Hukum Adat Indonesia
Di Indonesia terdiri dari berbagai macam hukum adat yang diantaranya:
1.      Masyarakat Hukum Territorial
2.      Masyarakat Hukum Genealogis
3.      Masyarakat Hukum Territorial – Genealogis
4.      Masyarakat Hukum Adat – Keagamaan
5.      Masyarakat Adat di Perantauan
6.      Masyarakat Adat lainnya.

2.5 Hukum Adat: Suatu Deskripsi Analitis

2.5.1 Hukum Pribadi
a. Titik tolak
            Hukum pribadi, pada dasarnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pada subyek hukum. Siapakah subyek hokum itu menurut hukum adapt?, inilah ruanglingkup pertama yang akan dibahas.


b. Subyek dari Hukum Pribadi
            Menurut hukum adat, disamping pribadi (naruurlijk persoon), diakui juga pribadi hukum (rechtspersoon) sebagai subyek hukum. Pribadi hukum adalah pibadi (persoon) yang merupakan ciptaan hukum.
            Pada dasarnya, pribadi kodrati itu telah mempunyai hak dan kewajiban sejak dilahirkan sampai dia meninggal dunia. Pengecualiannya ada misalanya di dalam hukum barat, dimana diatur bahwa seseorang anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya, karena kepentingan-kepentingan tertentu dianggap telah mempunyai hak dan kewajiban (pasal 2 BW yang merupakan fiksi hukum). Atas dasar ini, maka pribadi kodrati mempunyai hak dan bersikap tindak atau berprilaku yang mempunyai akibat hukum. Kecakapan bersikap tindak atau berprilaku dalam hukum adat itu ada, apabila yang bersangkutan telah dewasa.
            Namun kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Menurut Ter haar Bzn:
            Het ophuden huiskind te zijn is het einder der adatrechettelijk onvolwassenheid; niet het huwelijk meer.
Terjemahan : “Keadaan berhenti sebagai anak yang tergantung pada orang tua merupakan saat berakhirnya masa belum dewasa menurut hukum adat; bukan lagi saat menikah” (Ter Haar Bzn 1950: 140)
            Menurut Soepomo di dalam bukunya Adaprivaatrecht van West Java, yang menyatakan bahwa seseorang sudah dewasa dalam hukum adapt apabila seseorang sudah kuat gawe (mampu untuk bekerja secara mandiri). Di dalam putusan lain, Mahkamah Agung menentukan bahwa untuk seseorang yang telah mencapai dewasa yaitu berumur 20 tahun dan sudah cukup untuk bekerja. (keputusan tertanggal 2 November 1976 nomor 601K/Sip/1976).
            Suatu keputusan lainnya yang mencuri perhatian, berasal dari Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal, 21 Agustus 1957, nomor 67/1957:
“Di kota Pematang Siantar, dua orang wanita (kita sebut tergugat no.1 dan no.2), yang seorang ibu (No.1) dan anak (No.2), meminjam uang tunai dari seorang wanita lain sebanyak Rp. 46.000,00 untuk hutang piutang tersebut ada dibuat didalam surat perjanjian, dimana si ibu bertandatangan hanya sebagai saksi. Di dalam perkara ini timbul juga pernyataan, apakahsi ibu turut bertanggungjawab atas hutang si anak. Pengadilan Negeri telah mengabulkan gugat dan menghukum tergugat-tergugat menanggung membayar hutang tersebut. Pengadilan Tinggi Medan, yang menjatuhkan keputusan dalam taraf banding pada tanggal 21 Agustus 1957, diucapkan 24 desember 1957 No. 67/1957. Faktor-faktor penting dalam peristiwa tersebut yakni:
1. Anak (perempuan) masih tinggal serumah dengan ibunya.
2. Si anak mempunyai mata pencahaian sendiri. Dia berjualan di pasar Pematang Siantar
3. Si ibu yang bertandatangan di dalam surat hanya sebagai saksi


BAB III
Penutup


3.1 Kesimpulan
Sejak awal manusia diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Suatu hal yang rasional apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok masyarakat.
3.2 Kritik dan Saran
            Penulis merasa banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini, dan harapan kami supaya pembaca kiranya dapat memberikan masukan yang konstruktif demi tercapainya suatu kebaikan. Atas kritik dan saran pembaca, penulis ucapkan terimakasih.







BAB IV
Daftar Pustaka

Encylopedia Americana, Volume 22, 1997.
Ter Har Bzn, B. Beginselen en stelsel van ‘het adateht Groning. Djakarta: J.B. Wolters, 1950.
Hazairin. Kesusilaan dan Hukum. Pidato Pengukuhan sebagai guru besar Universitas Indonesia, 1995.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PenerbitDian rakyat, 1967.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Soeroengan, 1995.








Tidak ada komentar: