BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Apabila hendak membicarakan gejala hukum
dengan segala aspeknya, maka mau tak mau harus juga disinggung perihal
masyarakat yang menjadi wadah hukum tersebut. Hukum dalah masyarakat juga, yang
ditelaah ari sudut tertentu, sebagaimana halnya juga politik, ekonomi dan
sebagainya. Tradisi tersebut bertitik tolak pada pendirian, bahwa hukum
merupakan suatu gejala yang berdiri dalam masyarakat. Hal ini bukan berarti,
bahwa hukum secara tegas terpisah dari masyarakat.
Dapat
juga diartikan bahwa masyarakat merupakan suatu system, yakni system sosial.
Suatu system merupakan suatu keseluruhan terangkai yang mencakup unsure-unsur,
bagian-bagian, konsitensinya, kelengkapan dan konsepsi atau pengertian dasar.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa contoh-contoh dari system sosial
adalah, misalnya kelompok-kelompok kecil, partai-partai politik ataupun
masyarakat.
Subsistem
budaya merupakan susunan dari unsure-unsur yang berisikan dasar-dasar hirarki
dari masyarakat, yaitu nilai-nilai. Yang penting adalah bahwa pengertian system
sosial sangat penting sebagai titik tolak untuk membahas hukum adat Indonesia.
1.2 Tujuan
Tujuan
pada pembahasan makalah ini adalah supaya pembaca dan penulis lebih mengetahui
sistemh hukum adat diIndonesia dibalik pluralistiknya/majemuk budaya masyarakat
Indonesia.
1.3 Batasan Masalah
Agar
pembahasan lebih menarik, disini kami menarik semua pembahasan tentang system
adat yang hanya ada di “Indonesia”.
BAB II
Pembahasan
2.1 Definisi Hukum Adat
Definisi dari Hukum Adat
menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah
mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan
dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
Kepribadian bangsa kita
dapat dilihat dari keanekaragaman suku bangsa di negara ini yang ada pada
Lambang negara kita Garuda Pancasila dengan slogannya “Bhineka Tunggal Ika”
(Berbeda – Beda tetapi tetap satu jua).
Dengan mempelajari hukum
adat di Indonesia maka kita akan mendapatkan wawasan berbagai macam budaya
hukum Indonesia, dan sekaligus kita dapat ketahui hukum adat yang mana ternyata
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana dapat di
konkordasikan dan diperlakukan sebagai hukum nasional.
Berkat hasil penelitian
Prof. Mr. C. Vollenhoven di Indonesia yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia
mempunyai hukum pribadi asli, dan dengan demikian bangsa Indonesia semenjak
tanggal 17 Agustus 1945 melalui undang – undang dasarnya dapat mewujudkan tata
hukum Indonesia.
Sifat dari hukum adat
memiliki unsur elasitas, flesible, dan Inovasi, ini dikarenakan hukum adat
bukan merupakan tipe hukum yang dikodifikasi (dibukukan). Istilah Hukum adat
Indonesia pertama kali disebutkan dalam buku Journal Of The Indian Archipelago
karangan James Richardson Tahun 1850.
Hukum adat adalah
sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India,
dan Tiongkok.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari
19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
- Hukum Adat mengenai tata negara
- Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
- Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah
Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam
bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat
sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada
satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam
Masyarakat Indonesia.
Istilah
ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van
Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda
(sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat
lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga
hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada
yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana
hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan
(gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.
2.2 Masyarakat Majemuk
Istilah masyarakat majemuk mempunyai
arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau pluralistik. Menurut filsafat, maka pluralism dipertentangkan dengan dualism. Pluralism merupakan suatu nilai, bahwa dunia terdiri dari bermacam
benda, hal atau keadaan. (Encyclopedia Americana
Volume 22.971:258)
Dengan demikian dapatlah dikatakan,
bahwa istilah pluralism dapat dipergunakan di dalam bermacam-macam kerangka
pemikiran. Semula istilah tersebut dipergunakan dalam arti yang dipertentangkan
dengan teori-teori tradisonal mengenai kedaulatan negara.
Apabila ditinjau dari sudut sejarah
ilmu-ilmu social, maka istilah pluralisme dapat dipergunakan dalam arti
tertentu pula. Mula-mula istilah tersebut dipergunakan untuk melukiskan system
politik tertentu yang diperlukan oleh suatu Negara yang kompleks yang sedang
menerapkan demokrasi. Menurut pendukung pendapat tersebut, maka adanya
demokrasai ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan untuk mengambil keputusan
secara efektif.
a. Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang
dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan
atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven
adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum
adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
- Aceh
- Gayo dan Batak
- Nias dan sekitarnya
- Minangkabau
- Mentawai
- Sumatra Selatan
- Enggano
- Melayu
- Bangka dan Belitung
- Kalimantan (Dayak)
- Sangihe-Talaud
- Gorontalo
- Toraja
- Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
- Maluku Utara
- Maluku Ambon
- Maluku Tenggara
- Papua
- Nusa Tenggara dan Timor
- Bali dan Lombok
- Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
- Jawa Mataraman
- Jawa Barat (Sunda)
Di alam tulisan yang berjudul
“Daftar Sementara Suku Bangsa Suku Bangsa dii Indonesia Berdasarkan Klasifikasi
Letak Pulau atau Kepulauan” yang diterbitkan dalam Majalah Sosiografi Indonesia
nomor. 1, tahun 1959, dengan mengambil patokan criteria bahasa, daerah
kebudayaan serta susunan masyarakat. Jumlah suku bangsa yang ada, sebagai
berikut:
1. Sumatra : 49
2. Jawa : 7
3. Kalimantan : 73
4. Sulawesi :117
5.Nusa Tenggara : 30
6.Maluku-Ambon : 41
7. Irian Jaya : 49
Kalau Masyarakat diartikan sebagai
sejumlah manusia yang hidup bersama cukup lama sehingga dapat menciptakan satu
kebudayaan, maka Indonesia
sekarang ada banyak masyarakat tersendiri. Dalam usaha membentuk single society atau masyarakat Indonesia dan plural society yang ada sekarang, kita
harus mampu membedakan antara 3 macam kebudayaan: (Selo Soemardjan 1976:3-8)
- Super-Culture, yaitu kebudayaan satu buat seluruh masyarakat Indonesia.
- Culture, yaitu kebudayaan yang sejak dahulu dimiliki oleh tiap-tiap suku bangsa.
- Sub-Culture, yaitu variasi dari culture yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok atau golongan dalam suatu bangsa.
Nyatalah, bahwa
Selo Soemardjan menekan pada factor perbedaan culture dari setiap suku bangsa,
yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk.
b. Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat
sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan
masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
-
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena
pengaruh
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
2.3 Sistem-sistem Kekerabatan
Semenjak dahulu kala, sitem-sitem
kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu-ilmu social maupun
kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan, oleh karena manusia
ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat,
sebagai suatu system social yang menyeluruh.
Pada kebanyakan masyarakat, seorang
anak dipandang sebagai keturunan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai
keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan
kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya. Kerabat
yang ditelusuri melalui ayah, biasanya disebut patrilateral, sedangkan yang melalui ibu, lazimnya dinamakan matrilateral.
Prinsip keturunan memberikan
batas-batas pada hubungan-hubungan kekerabatan, oleh karena prinsip tersebut
menentukan siapakah yang masuk batasan hubungan kekerabatan dn siapa secara
biologis berada diluar batasan tersebut. Lazimnya dibedakan anatara empat macam
prinsip garis keturunan. (Koentjarangningrat 1967: 124, 125; bandingkan dengan
Hazairin 1960: 5 yang membedakan hanya 3 macam prinsip garis keturunan utama
yang disebut system kekerabatan manusia):
a. Prinsip garis
keturunan patrilineal atau patrilineal
descent yang secara sederhana dapat digambarkan, sebagai berikut:
Koentjaraningrat menjelaskan, bahwa
prinsip garis keturunan patrilineal adalah Yang menghitung hubungan kekerabatan
melalui orang laki-laki saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap
induvidu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas
hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya diluar batas itu.
Secara terperinci dengan menyebutkan masyarakat Batak sebagai contoh.
(Koentjaraningrat 1967: 124)
b. Prinsip garis
keturunan matrilineal atau matrilineal
descent, yakni (Ch. Winick 1975: 378)
Referring to the transmission authority,
inheritance, or descent primarily through females
Menurut
Kontjaraningrat, maka prinsip garis keturuan merupakan suatu prinsip yang
menghitung hubungan kekerabatan melalui orang-orang wanita saja, dan karena itu
mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap induvidu dalam masyarakat semua kerabat
ibunya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya sedang semua kaum kerabat ayahnya jatuh
diluar batas itu. (Koentjaraningrat
1967: 125)
Hazairin
mengemukakan contoh masyarakat Minangkabau, untuk menjelaskan prinsip garis
keturunan matrilineal.
c. Prinsip garis
keturunan bilateral atau parental (bilateral
descent)
Murdock kadang-kadang mempergunakan
istilah cognitic descent untuk
bilateral tersebut. Mengenai hal ini, dengan menyebutkan Masyarakat Jawa
sebagai contoh.
“Orang Jawa mempunyai masyarakat
yang system kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaiu setiap orang berhak
menarik garis keturunannya ke atas baik pun melalui ayahnya ataupun malalui
ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya ataupun melalui ibunya, demikian
pula yang dilakukan oleh ayahnya ataupun melalui ibunya itu dan seterusnya
begitu selanjutnya. (Hazairin 1960:5, 6)
Hazairin telah meberikan suatu
uraian yang agak terperinci mengenai prinsip garis keturunan bilateral. Namun
demikian, perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:
Khusus mengenai
daerah Solo, maka Marbangun Hardjowirogo memberi catatan-catatan, sebagai
berikut:
“ Berdasarkan
keturunan, Masyarakat Solo terbagi atas Ndoro, bangsawan, wong cilik, orang
biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagaar. Status ndoro
dan Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui seorang pria
atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang Susuhunan atau
seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal keondoroannya.
d. Prinsip garis
keturunan bilineal atau bilineal descent
Menurut Koentjaraningrat, maka
prinsip garis keturunan bilineal adalah yang menghitung hubungan kekerabatan
melalui orang-orang laki-laki saja untuk sejumlah hak dan kewajiban tertentu,
dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban yang lain, dank arena
itu mengakibatkan bagi tiap-tiap induvidu dalam masyarakat kadang-kadang semua
kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kekerabatan, sedangkan kaum
kerabat ibunya jatuh diluar batas itu, dan kadang-kadang sebaliknya.
(Koentjaraningrat 1967: 125)
Menurut Ter Haar Bzn, maka beberapa
daerah misalnya di Aceh dan savu, terdapat masyarakat-masyarakat dengan gejala
bilinear. Artinya pada masyarakat-masyarakat tersebut terdapat suatu tradisi,
dimana benda-benda tertentu diwariskan oleh ayah kepada anak laki-laki saja,
dan demikian pula lagi bagi benda-benda tertentu dari seorang ibu hanya
diwariskan kepada anak perempuannya. (Ter Haar Bzn 1950: 149)
Sistem-sistem kekerabatan pada umumnya
dan prinsip-prinsip garis keturunan khusus, merupakan masalah-masalah yang
perlu ditelaah terlebih dahulu sebelum mempelajari dan membahas hukum adat.
2.4 Pengakuan Adat
oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan
penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,
dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak
di daerah Maluku Tengah,
ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah
pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai
alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan
pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi
di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka
pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka
pada tanggal 24 Juni
1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Peraturan ini dimaksudkan
untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan
operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang
menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat
kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
- Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan
negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum
barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian
masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di
lingkungannya.
Di tinjau secara
preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan
atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi
dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 /
1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
a. Manfaat Hukum Adat
1. Hukum Adat dan Hukum Indonesia
Masyarakat Indonesia
memiliki kedinamikaan suku adat, yang pada prinsipnya hanya ada satu tujuan
yakni membangun dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Kedinamikaan suku
merupakan kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian ini adalah hukum adat yang
ditransformkan menjadi hukum nasioanal dan dicantumkan dalam UUD 1945.
Mempelajari hukum adat
maka kita akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk
menurut kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan
dengan hukum nasional.
Hukum di Indonesia salah
satunya bersumber dari costum, dimana sumber tersebut mengikuti perkembangan
zaman dan harus disesuaikan dengan azas – azas hukum yang berlaku dan tidak
boleh bertentangan dengan ideologi bangsa. Suatu peraturan yang telah
diundangkan harus disepakati dan dipatuhi bersama dengan tidak ada
pengecualian.
2 .
Masyarakat Hukum Adat Indonesia
Di Indonesia terdiri dari
berbagai macam hukum adat yang diantaranya:
1.
Masyarakat Hukum Territorial
2.
Masyarakat Hukum Genealogis
3.
Masyarakat Hukum Territorial – Genealogis
4.
Masyarakat Hukum Adat – Keagamaan
5.
Masyarakat Adat di Perantauan
6.
Masyarakat Adat lainnya.
2.5 Hukum
Adat: Suatu Deskripsi Analitis
2.5.1 Hukum
Pribadi
a. Titik tolak
Hukum pribadi, pada dasarnya
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pada subyek hukum. Siapakah
subyek hokum itu menurut hukum adapt?, inilah ruanglingkup pertama yang akan
dibahas.
b. Subyek dari
Hukum Pribadi
Menurut hukum adat, disamping
pribadi (naruurlijk persoon), diakui
juga pribadi hukum (rechtspersoon)
sebagai subyek hukum. Pribadi hukum adalah pibadi (persoon) yang merupakan ciptaan hukum.
Pada dasarnya, pribadi kodrati itu
telah mempunyai hak dan kewajiban sejak dilahirkan sampai dia meninggal dunia.
Pengecualiannya ada misalanya di dalam hukum barat, dimana diatur bahwa
seseorang anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya, karena
kepentingan-kepentingan tertentu dianggap telah mempunyai hak dan kewajiban
(pasal 2 BW yang merupakan fiksi hukum). Atas dasar ini, maka pribadi kodrati
mempunyai hak dan bersikap tindak atau berprilaku yang mempunyai akibat hukum.
Kecakapan bersikap tindak atau berprilaku dalam hukum adat itu ada, apabila
yang bersangkutan telah dewasa.
Namun kedewasaan seseorang menurut
hukum adat seringkali tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Menurut
Ter haar Bzn:
Het
ophuden huiskind te zijn is het einder der adatrechettelijk onvolwassenheid;
niet het huwelijk meer.
Terjemahan :
“Keadaan berhenti sebagai anak yang tergantung pada orang tua merupakan saat
berakhirnya masa belum dewasa menurut hukum adat; bukan lagi saat menikah” (Ter
Haar Bzn 1950: 140)
Menurut Soepomo di dalam bukunya Adaprivaatrecht van West Java, yang
menyatakan bahwa seseorang sudah dewasa dalam hukum adapt apabila seseorang
sudah kuat gawe (mampu untuk bekerja secara mandiri). Di dalam putusan lain,
Mahkamah Agung menentukan bahwa untuk seseorang yang telah mencapai dewasa
yaitu berumur 20 tahun dan sudah cukup untuk bekerja. (keputusan tertanggal 2
November 1976 nomor 601K/Sip/1976).
Suatu keputusan lainnya yang mencuri
perhatian, berasal dari Pengadilan Tinggi Medan pada tanggal, 21 Agustus 1957,
nomor 67/1957:
“Di kota Pematang Siantar,
dua orang wanita (kita sebut tergugat no.1 dan no.2), yang seorang ibu (No.1)
dan anak (No.2), meminjam uang tunai dari seorang wanita lain sebanyak Rp.
46.000,00 untuk hutang piutang tersebut ada dibuat didalam surat perjanjian,
dimana si ibu bertandatangan hanya sebagai saksi. Di dalam perkara ini timbul
juga pernyataan, apakahsi ibu turut bertanggungjawab atas hutang si anak.
Pengadilan Negeri telah mengabulkan gugat dan menghukum tergugat-tergugat
menanggung membayar hutang tersebut. Pengadilan Tinggi Medan, yang menjatuhkan
keputusan dalam taraf banding pada tanggal 21 Agustus 1957, diucapkan 24
desember 1957 No. 67/1957. Faktor-faktor penting dalam peristiwa tersebut
yakni:
1. Anak
(perempuan) masih tinggal serumah dengan ibunya.
2. Si anak
mempunyai mata pencahaian sendiri. Dia berjualan di pasar Pematang Siantar
3. Si ibu yang
bertandatangan di dalam surat hanya sebagai saksi
BAB III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Sejak awal manusia
diciptakan telah dikarunia akal, pikiran dan prilaku yang ketiga hal ini
mendorong timbulnya “kebiasaan pribadi “, dan apabila kebiasaan ini ditiru oleh
orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu dan seterusnya sampai
kebiaasaan itu menjadi adat, jadi adat adalah kebiasaan masyarakat yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Suatu hal yang rasional
apabila interaksi sosial mengambil peran yang penting dalam kelompok masyarakat.
3.2 Kritik dan Saran
Penulis
merasa banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini, dan harapan kami
supaya pembaca kiranya dapat memberikan masukan yang konstruktif demi
tercapainya suatu kebaikan. Atas kritik dan saran pembaca, penulis ucapkan
terimakasih.
BAB IV
Daftar Pustaka
Encylopedia Americana, Volume 22, 1997.
Ter Har Bzn, B. Beginselen en stelsel van ‘het adateht
Groning. Djakarta: J.B. Wolters, 1950.
Hazairin. Kesusilaan dan Hukum. Pidato Pengukuhan
sebagai guru besar Universitas Indonesia, 1995.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
PenerbitDian rakyat, 1967.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta:
Soeroengan, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar